Selasa, 27 Februari 2018

Hembusan angin malam di tepi Kali Berantas, tak menyurutkan keasyikan sejumlah orang yang duduk di depan sebuah rumah panggung berwarna merah di halaman Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Malam itu adalah satu dari sekian malam ketika kelenteng yang berada Jl. Yos Sudarso, Kediri ini menggelar pertunjukan wayang potehi selama hampir dua bulan penuh, hingga awal Juli 2013 lalu.

Purwanto, pria asal Jombang yang berdomisili di Kediri, tampil sebagai dalang, yang dalam istilah potehi disebut sebagai sehu. Ia begitu lihai memainkan boneka sembari melantunkan suluk dalam sebuah lakon tentang Jenderal Sie Djin Kwie, satu dari sekitar 30-an lakon yang dikuasainya. Selain sang sehu, masih ada empat orang lagi yang sibuk di belakang panggung. Satu orang menjadi jiju atau asisten yang mempersiapkan dan menata boneka berikut propertinya, sementara tiga orang lainnya duduk di bagian belakang memainkan sejumlah musik tradisional Tiongkok seperti tong ko (tambur), piak ko (bilah kayu), ua lo dan sio lo (gembreng besar dan kecil), tua jwee (terompet), hian na (rebab) serta gwee khim (mandolin).

Suasana malam itu cukup memberi gambaran bagaimana lazimnya suasana pertunjukan wayang potehi yang belakangan kembali marak digelar. Pertunjukan wayang potehi biasanya digelar untuk memeriahkan peringatan ulang tahun dewa yang yang menjadi tuan rumah suatu kelenteng. Ongkos pertunjukannya ditanggung oleh para donatur dari berbagai kota yang membiayai beberapa lakon atau sejumlah hari pertunjukan tertentu.

Umumnya dalam sehari dipentaskan dua kali, sekitar pukul 15.30 dan pukul 19.00, masing-masing dengan kisaran durasi selama dua jam. Lakon yang ditampilkan pada setiap pementasan selalu berbeda, namun tetap dalam satu rangkaian cerita panjang. Tentang lakon apa yang akan dipentaskannya, sang sehu bergantung sepenuhnya pada permintaan sang pemesan. “Tidak semuanya cerita klasik, bisa juga cerita garapan yang lebih nge-pop seperti Sam Pek Eng Tay, cerita silat karya Kho Ping Hoo atau kisah Kera Sakti,” tutur Purwanto.

Sebagai salah satu ikon budaya peranakan Tionghoa di Indonesia, wayang potehi kembali muncul ke permukaan sejak tahun 2000, setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lebih dari tiga dasawarsa hanya terkungkung dibalik tembok kelenteng, sosok Jenderal Sie Djin Kwie kini bebas tampil dan dikisahkan dimana saja. Tak sebatas di kelenteng-kelenteng, namun juga merambah berbagai ruang publik seperti galeri seni dan pusat perbelanjaan di berbagai kota besar di Indonesia.

Tidak ada catatan pasti bagaimana asal mula berkembangnya seni pertunjukan ini di Indonesia. Bahkan di negeri leluhurnya sendiri, tidak cukup tersedia sumber referensi yang dominan, sehingga memunculkan beragam versi tentang sejarah seni teater boneka, khususnya wayang potehi.

Di negeri asalnya, teater boneka konon telah dikenal sejak masa kejayaan Dinasti Han (206-220 Masehi) dan semakin berkembang di masa Dinasti Tang (618-907 Masehi). Kaisar Minghuang yang memerintah tahun 713-756 Masehi, tercatat sebagai penggemar pertunjukan-pertunjukan boneka yang pementasannya kerapkali diadakan di dalam istananya. Kota Zhangzhou dan Quanzhou di Provinsi Fujian, sejak berabad lampau telah menjadi pusat perkembangan teater boneka, dimana para seniman mencipta dan berkarya.

Bentuk teater boneka itu sendiri bermacam-ragam, baik yang berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Bentuk dua dimensi berupa pertunjukan bayang-bayang dari boneka tipis yang terbuat dari kulit (shadow puppet), serupa dengan wayang yang dikenal di Jawa. Sementara bentuk tiga dimensi berupa boneka bertangkai (rod puppet), boneka yang digerakkan dengan tali (string puppet atau marionette) serta boneka sarung tangan (glove puppet). Salah satu boneka sarung tangan ini dikenal dengan nama “pouw tee hie”, sebuah istilah dalam dialek Hokkian (Fujian) atau dalam Bahasa Mandarin dikenal dengan istilah “budaixi”. Di Taiwan, bentuk serupa disebut sebagai “tjiang tiong hie” atau boneka telapak tangan. Bentuk inilah yang di Indonesia belakangan dikenal sebagai wayang potehi.

Tentang wayang potehi, David Kwa, seorang pemerhati budaya Tionghoa, menuliskan tentang bagaimana riwayat muasalnya. Menurut Kwa, sejarah wayang potehi diawali oleh Nio Peng Lin, seorang terpelajar di kota Quanzhou, pada paruh awal abad ke-17. Berulang kali gagal dalam ujian pegawai negeri, membuatnya berputar haluan, mencoba keberuntungan sebagai pembuat boneka sarung tangan, sekaligus melatih kepandaian untuk memainkannya. Tak sebatas membuat dan memainkan, dirintisnya pula serangkaian pertunjukan boneka, lengkap dengan musik dan nyanyian pengiringnya. Cerita rakyat dan cuplikan sejarah Tiongkok pun dikembangkan sebagai lakon yang ditampilkan dalam setiap pertunjukan.

Ketekunan Nio Peng Lin berbuah hasil. Penampilan unik berikut kisah-kisah menarik dari setiap pertunjukan bonekanya berhasil memikat hati setiap orang yang menyaksikan, hingga mendatangkan ketenaran yang meluas hingga seluruh pelosok Hokkian. Ia baru menyadari ramalan seorang tua yang pernah hadir dalam mimpinya dan menorehkan kata-kata "kong beng kui ciang siang" yang artinya "ketenaran dan kejayaan kembali ke telapak tangan". Sebuah isyarat yang sempat hanya dianggap sebagai bunga tidur dan diabaikannya, karena tetap saja tak membuatnya sukses menjadi pegawai negeri, belakangan disadarinya berbeda makna. Pertunjukan boneka pun menjadi mata pencaharian yang yang ditekuni hingga akhir hayatnya.

Sepeninggal Nio Peng Lin, pertunjukan boneka ini tetap lestari dan diwariskan secara turun-temurun sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur. Seiring tradisi merantau warga Hokkian, seni pertunjukan ini pun turut menyebar luas, mengikuti arus migrasi menuju negeri-negeri di arah Laut Selatan (Lam-yang), seperti Taiwan, Malaysia dan Indonesia.

Di Indonesia, tak banyak catatan yang menjelaskan dengan lengkap bagaimana awal mula perkembangan wayang dari Negeri Tiongkok ini, meskipun naskah kuno seperti Nawaruci yang ditulis sekitar paruh pertama abad ke-14 sempat menyinggung adanya pertunjukan wayang Cina, sebagaimana tertulis; “Anggambuh, amancangah, allangkarn mwang awayang Cina”. Artinya, semasa dengan awal kemunculan di negeri asalnya pada awal abad ke-17, wayang potehi pun dengan segera menyebar hingga masuk ke wilayah Indonesia.

Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine. Selanjutnya: Potehi Klasik Tersisa di Tanah Jawa (2).

This post have 0 Comment


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.